PONTIANAK, Infoindonesia.net – Langit Kota Pontianak sore itu tampak kelam, seolah turut merasakan kegelisahan seorang lelaki yang duduk termangu di balik meja kerjanya.
Sudirman SH MH, sang kuasa hukum, menatap tajam layar komputer yang memuat deretan berita bermasalah. Bibirnya bergetar, mengutuk setiap kata yang tercetak tanpa dasar.
“Ini bukan sekadar kesalahan teknis,” bisiknya lirih, “ini pengkhianatan terhadap prinsip paling suci dalam hukum dan jurnalistik: praduga tak bersalah.”
Kliennya, Wawan Suwandi—wartawan senior yang mengabdi sejak 1996—kini terjerat dalam pusaran pemberitaan sepihak. Tanpa konfirmasi, tanpa verifikasi, hanya narasi yang dipaksakan.
Kode Etik Jurnalistik yang Retak di Tangan Oknum
Jurnalisme seharusnya menjadi pilar demokrasi, tetapi di tangan oknum yang mengaku “wartawan”, ia berubah menjadi pisau belati. Sudirman dengan tegas menyatakan:
“Mereka melanggar Pasal 3 Kode Etik Jurnalistik: berimbang, akurat, dan tidak menghakimi. Tapi lihatlah, berita ini justru menghakimi sebelum pembuktian.”
Wawan, yang pernah menjadi biro media lokal dan nasional, hanya bisa menggeleng. “Ini bukan salah persaingan, ini soal integritas,” ujarnya.
Wawan Suwandi: Dari Wartawan Senior hingga Korban Pemberitaan Sepihak
Perjalanan Wawan dalam dunia jurnalistik ibarat puisi panjang yang tiba-tiba dicoret dengan tinta hitam.
Sejak 1996, ia mengabdikan diri pada kebenaran. Ia pernah jadi wartawan Suaka (miliknya OSO-Oesman Sapta Odang-), wartawan Prakarsa miliknya Alm Herry Hanwari (Mantan Ketua PWI Kalbar) dan wartawan nasional surat kabar Inti Jaya.
Namun, di puncak kariernya sebagai Plt Ketua PWI Kalbar, ia justru dihujam dari belakang.
SK PWI Pusat No. 133-PGS/A/PP-PWI/II/2025 menjadi bukti legalitasnya. Tapi, bagi media yang tak peduli fakta, dokumen itu seolah tak berarti.
Pasal-Pasal yang Mengancam: UU ITE dan Pencemaran Nama Baik
- Sudirman membuka kitab hukum, menunjuk tiga pasal kunci:
- Pasal 27 ayat 3 UU ITE (Pencemaran nama baik melalui elektronik).
- Pasal 310 KUHP (Pencemaran).
- Pasal 311 KUHP (Fitnah).
“Ancaman hukumannya nyata: penjara hingga 4 tahun,” tegasnya.
Somasi telah dilayangkan, tapi kerusakan sudah terjadi. Masyarakat dibingungkan oleh narasi yang tak jelas sumbernya.
“Ini bukan hanya tentang Wawan, tapi tentang kepercayaan publik pada media,” kata Sudirman.
Kasus ini menjadi cermin buram dunia pers. Jika oknum tak diadili, jurnalisme hanya akan jadi alat pemerasan. Wawan berharap, ini menjadi momentum perbaikan.
“Saya tidak melawan pers, saya melawan ketidakadilan,” tutupnya.
Kisah Wawan Suwandi bukan sekadar konflik hukum, melainkan pertarungan antara kebenaran dan keserakahan.
Di tengah gemuruh pemberitaan, satu hal harus tetap dijaga: integritas.