PONTIANAK, Infoindonesia.net – Dalam dunia yang seharusnya dihiasi dengan integritas dan kebenaran, ada segelintir oknum yang justru menjual ketakutan.
Mereka bukan debt collector, bukan pula preman pasar, melainkan wartawan—atau lebih tepatnya, “wartawan”—yang menggunakan pena sebagai senjata pemeras.
Baru-baru ini, beredar rekaman pembicaraan yang menghebohkan Kalimantan Barat.
Seorang oknum wartawan dari media nasional diduga meminta Rp5 miliar dari seorang pengusaha.
Alasannya? Agar pemberitaan negatif tentang legalitas usaha sang pengusaha dihentikan.
Jika tidak, ancamannya jelas: “Kami akan gandeng media besar lain, dan beritanya akan lebih masif!”
Ah, indahnya dunia jurnalistik zaman now—di mana berita bisa dibeli, diatur, atau bahkan dijadikan alat pemerasan.
Rekaman Itu Mengguncang Pontianak
Dalam rekaman tersebut, terdengar negosiasi ala mafia. Oknum wartawan ini awalnya meminta Rp5 miliar, tapi kemudian “berbaik hati” menurunkan tuntutan menjadi Rp700 juta. “Diskon” yang cukup fantastis, bukan?
“Ini bukan pemerasan, ini negosiasi,” mungkin begitu pembelaan mereka. Tapi, ketika ancaman berita negatif menjadi senjata, apa bedanya dengan preman yang meminta uang keamanan?
Pengusaha yang menjadi korban bersikukuh: “Saya punya legalitas, tidak ada yang ilegal!” Tapi, di tangan oknum ini, fakta bisa dibengkokkan menjadi narasi yang merusak.
Polda Kalbar Diminta Turun Tangan
Sumber dekat pengusaha itu mendesak Polda Kalbar untuk segera menangkap oknum wartawan tersebut.
“Ini jelas pemerasan! Jika dibiarkan, iklim investasi di Kalbar bisa hancur,” katanya.
Bayangkan, seorang wartawan—yang seharusnya menjadi penjaga demokrasi—justru menjadi perusak kepercayaan publik. Jika media bisa dibeli, lalu apa bedanya dengan pasar gelap?
Media Besar Digandeng, Ancaman Makin Menjadi
Yang lebih mengerikan, oknum ini mengancam akan melibatkan media besar lain.
Artinya, bukan hanya satu media yang akan memberitakan secara negatif, tapi jaringan media nasional.
“Kami punya koneksi,” mungkin begitu kata mereka. Tapi, apakah ini yang disebut jurnalisme? Atau jurnalisme sudah berganti rupa menjadi jualan ketakutan?
Aparat Harus Bertindak, Jangan Biarkan Jurnalis Jadi Penjahat
Jika oknum ini tidak ditindak, maka jangan heran jika suatu hari nanti, setiap pengusaha akan menerima telepon: “Halo, kami dari media. Ada berita negatif tentang Bapak. Tapi tenang, bisa ‘diatur’.”
Polda Kalbar harus bergerak cepat. Jangan biarkan wartawan gadungan merusak martabat profesi yang seharusnya mulia ini.