BeritaKalbar,

Gemerlap Permintaan Sedekah Lima Miliar: Ode Puitis Nan Tragis Dari Rimba Jurnalisme Digital Kalimantan Barat

Infoindonesia
75
×

Gemerlap Permintaan Sedekah Lima Miliar: Ode Puitis Nan Tragis Dari Rimba Jurnalisme Digital Kalimantan Barat

Sebarkan artikel ini
Semoga kisah ini menjadi pengingat, bahwa di balik gemerlap dunia digital, masih ada noda hitam yang harus dibersihkan di Kalimantan Barat.
Semoga kisah ini menjadi pengingat, bahwa di balik gemerlap dunia digital, masih ada noda hitam yang harus dibersihkan di Kalimantan Barat.
Example 468x60

PONTIANAK, Infoindonesia.net – Di sebuah kota di belahan Barat Borneo yang kaya akan cerita dan, konon, juga intrik, lahirlah sebuah kisah yang sejatinya pantas digubah menjadi epik satir modern.

Kisah tentang sebuah “penawaran” yang tak lazim, sebuah “proposal bisnis” yang, alih-alih beraroma kemajuan, justru menyengat seperti belerang dari kawah gunung berapi etika.

Example 300x600

Adalah seorang pengusaha, yang konon tegar menghadapi badai ekonomi, namun kini terhempas ombak “jurnalisme” yang entah datang dari mana, meminta “sumbangan” lima miliar rupiah.

Bukan untuk amal, bukan pula untuk pembangunan kota, melainkan, konon katanya, sebagai “kompensasi biaya operasional lima tahun” bagi sebongkah media digital yang, ya ampun, sungguh mulia niatnya, ingin terus beroperasi.

Betapa syahdunya permintaan ini! Sebuah gestur kemurahan hati yang entah dari mana asalnya, dibingkai dalam narasi “penghentian pemberitaan masif narasi negatif”.

Seolah-olah, pena jurnalis yang seharusnya suci dan independen itu, kini bertransformasi menjadi palu godam yang siap menghantam reputasi siapa saja yang tak sudi mengeluarkan “sedekah” berjuta-juta.

Ah, sungguh sebuah pemandangan yang mengharukan sekaligus menggelikan, ketika profesi mulia pewarta berita harus rela dinodai oleh tangan-tangan “oknum” yang, agaknya, lebih tertarik pada gemerincing uang tunai ketimbang deru mesin kebenaran.

Simfoni Ancaman dan Melodi Pemerasan

Betapa tebalnya tirai drama ini, sehingga sang oknum tak segan-segan meninggalkan jejak berupa rekaman suara dan percakapan WhatsApp.

Sebuah “bukti sejarah” yang akan dikenang sebagai penanda zaman, di mana “kompensasi” bukan lagi soal keringat dan kerja keras, melainkan soal keberanian mematok harga atas keheningan narasi negatif.

Konon, di antara bait-bait percakapan itu, terungkaplah sebuah kebenaran yang pahit: bahwa tuduhan “aktivitas usaha ilegal” hanyalah bumbu penyedap untuk membenarkan permintaan fantastis tersebut.

Sang pengusaha, yang kini entah bagaimana harus tidur nyenyak di tengah badai fitnah, pun melontarkan protes lirih.

“Jika memang tuduhan itu benar, mana mungkin saya masih perlu meminjam uang dari bank untuk modal usaha?” sebuah pertanyaan retoris yang menggantung di udara, seolah menampar logika para “pemburu kompensasi” itu.

Dan lagi, pertanyaan pilu itu: “Salah apa saya, sehingga reputasi pribadi saya harus hancur berantakan oleh pemberitaan masif yang beruntun?”

Ah, betapa tragisnya, ketika pena yang seharusnya menjadi pelita penerang, justru digunakan sebagai obor pembakar reputasi.

Dari Lima Miliar Turun ke Dua Miliar: Tawar-Menawar Ala Pasar Gelap Reputasi

Melihat betapa kerasnya hati sang pengusaha, sang “penghubung” yang entah dari mana datangnya, dengan segala kerendahan hati “menurunkan tarif”.

Dari lima miliar rupiah yang fantastis, kini menjadi dua miliar rupiah yang, oh, sungguh “lebih terjangkau”.

Sebuah diskon yang tak kalah menggelikannya dari lelang barang antik yang dibeli dengan harga murah namun dijual dengan harga selangit.

Namun, bahkan dengan potongan harga yang “murah hati” itu, sang pengusaha tetap tak bergeming.

Maka, hadirlah ancaman yang lebih menggelegar dari halilintar di musim hujan: “Jika tak sudi membayar, kami akan menggandeng media lain, yang jangkauannya lebih luas, pembacanya lebih banyak!”

Sebuah ancaman yang, sejatinya, adalah pengakuan telanjang akan praktik “jurnalisme” yang tak lagi mengenal batas etika. Seolah-olah, media lain hanyalah alat tukar, sebuah senjata pamungkas untuk menekan dan memeras.

Betapa mulianya profesi ini, hingga bisa dijadikan alat barter di pasar gelap reputasi!

Ketika Hak Jawab Terhempas Badai Ketidakpedulian: Kisah Heroik Sebuah Perlawanan
Di tengah kemelut ini, sang pengusaha yang tak ingin reputasinya terkubur hidup-hidup, pun mencoba mengambil langkah yang, seharusnya, adalah hak mendasarnya: Hak Jawab.

Sebuah hak yang dijamin oleh Undang-Undang Pers, sebuah benteng terakhir bagi mereka yang merasa terzolimi oleh pemberitaan.

Namun, betapa kejamnya takdir, ketika Hak Jawab yang suci itu harus berhadapan dengan tembok tebal ketidakpedulian.

Material Hak Jawab yang dikirimkan, konon katanya, seolah-olah “menghilang” di udara.

Dari nomor WhatsApp yang tak digubris, hingga alamat kantor yang, ironisnya, “tidak dikenal” oleh perusahaan jasa pengiriman.

Bahkan, upaya terakhir untuk mengirimkan langsung ke rumah sang oknum, pun berujung pada jawaban yang sama: “Tujuan surat tidak dikenal.”

Sebuah komedi putar birokrasi yang memuakkan, di mana kebenaran seolah-olah harus bersembunyi di balik labirin alasan yang dibuat-buat.

Ah, betapa ironisnya! Ketika sebuah proposal “Gebyar Festival Meriam Karbit 2025” yang, entah mengapa, pernah dikirimkan kepada sang pengusaha, bisa menemukan jalannya, namun Hak Jawab yang krusial itu justru tersesat di tengah rimba ketidakpedulian.

Seolah-olah, ada filter khusus yang hanya memperbolehkan “proposal bisnis” berbau uang, namun menolak mentah-mentah upaya menegakkan keadilan.

Mengurai Benang Kusut Pemerasan Berkedok Jurnalisme

Di tengah riuhnya drama ini, muncullah suara Syamsudin Hermawan, seorang praktisi media digital yang, agaknya, masih memiliki nurani yang bersih.

Dengan lugas ia menyatakan, “Dalam aturan main media, tidak ada istilah kompensasi biaya operasional.”

Sebuah pernyataan yang menohok, membongkar habis-habisan tabir kemunafikan di balik permintaan lima miliar rupiah itu.

“Apalagi disebut pengusaha minta bayar cash Rp5 miliar syarat hentikan pemberitaan masif narasi negatif, itu sudah tidak bisa dibenarkan,” lanjut Syamsudin, seolah menjadi juru bicara keadilan di tengah kegelapan.

Ia menegaskan, jika sang pengusaha memiliki bukti, maka “oknum wartawan tersebut tidak bisa lepas dari jeratan hukum.” Sebuah kalimat yang memberikan secercah harapan bagi mereka yang merasa terdzalimi.

Syamsudin Hermawan juga mengingatkan, bahwa dugaan pemerasan ini sudah masuk ranah pidana, yang tidak bisa lagi berlindung di balik regulasi pers atau Dewan Pers.

“Bahkan tidak menutup kemungkinan Dewan Pers akan mengambil langkah lebih lanjut, jika mengacu kepada fakta unsur dugaan pemerasan,” ujarnya.

Sebuah sinyal kuat, bahwa kali ini, para “pemburu kompensasi” itu tak akan bisa lagi bersembunyi di balik jubah profesi mulia.

Ketika Integritas Tersandra Uang

Syamsudin Hermawan kembali menegaskan betapa pentingnya Hak Jawab. “Tidak memuat hak jawab secara disengaja, bentuk pelanggaran berat bagi profesi wartawan dan media massa.”

Sebuah peringatan keras bagi siapa saja yang berniat mempermainkan hak asasi warga negara.

Ia juga membeberkan prosedur yang bisa ditempuh: jika tiga kali berturut-turut Hak Jawab tak dimuat, maka pengaduan ke Dewan Pers adalah jalan yang harus ditempuh.

Dan puncaknya, Syamsudin Hermawan melontarkan sebuah kalimat yang seharusnya menjadi renungan bagi kita semua: “Pers jangan terkesan dijadikan ajang pemerasan, melanggar integritas dan profesi wartawan.”

Sebuah kalimat yang merangkum keseluruhan tragedi ini. Karena, pada akhirnya, ketika pena jurnalisme tak lagi digunakan untuk menerangi.

Melainkan untuk menjarah, maka yang rugi bukanlah hanya sang pengusaha yang diperas, melainkan juga iklim investasi yang sehat, dan, yang terpenting, kepercayaan publik terhadap sebuah pilar demokrasi yang bernama pers.

Semoga kisah ini menjadi pengingat, bahwa di balik gemerlap dunia digital, masih ada noda hitam yang harus dibersihkan.

Dan semoga, kisah ini menjadi awal dari babak baru, di mana pena jurnalisme kembali pada khitahnya: menyuarakan kebenaran, bukan mencari keuntungan di atas penderitaan.

Example 300250
Example 120x600