ENTIKONG, Infoindonesia.net – Suara itu menggema. Perlahan, tapi pasti. Seperti air mengalir melalui celah-celah batu, kata-kata Dedy Irwan Virantama—Kajari Sanggau diwakili Kasi Pidsus Kacabjari Entikong menyusup ke dalam ruang kesadaran.
Gedung Nusantara PLBN Entikong, 28 Juni 2025, menjadi saksi bisu pertemuan dua kekuatan: hukum dan jurnalisme.
Di sini, di tapal batas Indonesia-Malaysia, bukan hanya perbatasan geografis yang ditandai. Tapi juga batas antara harapan dan realita, antara kesunyian dan gema perubahan.
“Kejaksaan bersama media harus bersinergi sesuai peran serta fungsinya masing-masing,” ujarnya.
Kalimat itu terasa seperti pisau bermata dua. Di satu sisi, ia adalah janji; di sisi lain, ia adalah ujian.
Tapi, apa arti “sinergi” di negeri di mana hukum sering kali berjalan tertatih, sementara media dibayangi bisnis dan politik? Kajari Sanggau tak sekadar berbicara—ia melempar tantangan.
Di tengah kondisi ekonomi hingga hukum semakin suram ini, ajakannya terdengar seperti nyanyian di tengah badai.
“Kejaksaan selalu terbuka atas saran serta kritik dari wartawan,” tegasnya.
Kalimat ini jika dipegang—bisa menjadi oksigen bagi demokrasi yang sesak. Tapi, sejarah mengajarkan: pintu keterbukaan sering kali terkunci oleh ego sektoral.
Hukum Berpihak Atau Hukum Berpura-Pura?
“Pembangunan di Sanggau harus untuk kesejahteraan rakyat,” katanya. Indah. Tapi, di lapangan, rakyat kecil masih bertanya: Di mana keadilan itu?
Jika media tak diberi ruang, bagaimana sinergi bisa lahir? Acara usai. Mikrofon padam.
Tapi, pertanyaan tetap menggantung: Akankah ajakan Kajari Sanggau ini menjadi turning point?
Atau hanya sekadar ritual tahunan yang akan tenggelam dalam rutinitas?
Satu hal yang pasti: di tapal batas Indonesia-Malaysia hari ini, bukan hanya dua negara yang bertemu. Tapi juga dua harapan hukum yang adil dan jurnalisme yang berani. (Wawan Daly Suwandi)
