KALIMANTAN BARAT, Infoindonesia.net – Lukisan kehancuran tersaji nyata di Bumi Khatulistiwa. Aktivitas Pertambangan Emas Tanpa Izin (PETI) bukan lagi sekadar persoalan ilegalitas, melainkan sebuah bencana ekologis dan ekonomi berskala masif.
Di balik asap mesin dompeng dan lobang-lobang menganga, tersembunyi nama yang terus bergaung Siman Bahar. Cukong besar ini diduga kuat sebagai otak utama yang membiarkan kerakusan merusak negeri, sementara negara dirugikan hingga ratusan triliun rupiah per tahun.
Ironisnya, meski berbagai operasi pemberantasan digelorakan, tindakan hukum justru kerap berakhir di pinggiran.
Pekerja kecil dan peralatan seadanya menjadi tumbal, sementara sang dalang dan alat-alat beratnya masih leluasa bernafas.
Duka Lingkungan Menganga
Dampak PETI terhadap lingkungan sudah mencapai tahap yang mengkhawatirkan. Di daerah Serimbu, Kabupaten Landak, sungai-sungai yang dahulu jernih kini berubah menjadi kolam lumpur keruh beracun.
Hutan-hutan yang menjadi paru-paru kehidupan terkikis habis, menyisakan landscape luka dan tandus.
“Kami sudah tidak mengenali sungai kami lagi. Kerusakannya sangat parah. Alat-alat berat itu masih saja bekerja, bahkan di kawasan yang seharusnya dilindungi,” keluh seorang tokoh masyarakat setempat dengan nada geram dan prihatin.
Setiap hari, praktik ilegal ini tidak hanya meracuni air dengan merkuri dan sianida tetapi juga menghancurkan habitat flora dan fauna.
Kerusakan yang ditimbulkan bersifat permanen, membutuhkan waktu puluhan bahkan ratusan tahun untuk dapat dipulihkan.
Siapa Sebenarnya Dalangnya?
Nama Siman Bahar bukanlah hal baru. Dalam berbagai laporan masyarakat dan pemberitaan media lokal, ia kerap disebut sebagai pemodal dan cukong besar yang menggerakkan roda PETI di tiga wilayah kaya emas Singkawang, Bengkayang, dan Mempawah.
Polanya klasik adanya pembeli tunggal yang menguasai seluruh rantai distribusi emas ilegal di Provinsi Kalimantan Barat.
Tak sendirian, nama-nama seperti Jojon dan Ana juga menghiasi peta peredaran PETI. Pasangan suami-istri ini disebut-sebut telah puluhan tahun berkecimpung dalam bisnis haram ini, dan bahkan pernah bekerja sama dengan Aliong, bos emas yang pernah diamankan dengan 40 kilogram emas ilegal.
Mereka adalah bagian dari jaringan Siman Bahar yang kokoh dan seolah kebal hukum.
Hukum Tumpul Kebawah
Operasi besar-besaran yang digaungkan Polda Kalbar menuai kritik pedas. Masyarakat menilai penindakan hanya menyentuh permukaan. Pekerja harian ditangkap, mesin dompeng disita, tetapi alat berat dan para cukong di belakang layar tetap bebas berkeliaran.
“Ini membuat kami bertanya-tanya, ada apa dengan penegakan hukum di Kalbar? Mengapa hanya rakyat kecil yang menjadi sasaran, sementara Siman Bahar dan kawan-kawannya yang notabene adalah aktor intelektual tidak pernah disentuh?” tanya seorang warga setempat.
Ketiadaan tindakan tegas terhadap para cukong besar menimbulkan kesan adanya ketimpangan hukum yang tajam.
Pemberantasan PETI dinilai tidak akan pernah berhasil jika hanya fokus pada hilir tanpa menelusuri dan memutus mata rantai di hulu.
Jerit Rakyat Kalimantan Barat
Tekanan publik semakin menguat. Masyarakat di wilayah terdampak menyuarakan kekecewaan dan keprihatinan mereka.
Mereka mendesak aparat penegak hukum, khususnya Polda Kalbar, untuk bersikap tegas, adil, dan transparan.
“Kami mendesak Polda Kalbar untuk bertindak menyeluruh. Tangkap dan penjarakan bos besar seperti Siman Bahar, para cukong pemodal, serta oknum-oknum yang melindungi mereka di tataran atas.
Jika tidak, maka segala upaya pemberantasan ini akan sia-sia,” seru perwakilan komunitas adat.
Desakan ini jelas penegakan hukum harus dilakukan dari hulu ke hilir. Tanpa itu, PETI akan terus beroperasi dengan pola yang sama, merusak lingkungan, merugikan negara.
Juga menciptakan ketimpangan ekonomi dimana pelaku ilegal bebas dari tanggung jawab yang harusnya dibebankan kepada pelaku usaha tambang yang sah.
Keberadaan PETI tidak hanya membawa duka ekologis, tetapi juga memicu masalah sosial dan ekonomi yang kompleks.
Ketimpangan semakin nyata ketika pelaku usaha resmi terbebani berbagai kewajiban, sementara pelaku PETI seperti jaringan Siman Bahar menikmati keuntungan besar tanpa tanggung jawab.
Negara terus dirugikan, lingkungan semakin rusak, dan masa depan generasi mendatang dipertaruhkan.
Nama Siman Bahar dan kroni-kroninya telah menjadi simbol dari kegagalan penegakan hukum dan kerakusan yang menggerogoti kedaulatan bangsa.
Tanpa langkah luar biasa dan keberanian untuk menyentuh aktor utama, Bumi Kalimantan Barat akan terus merintih dalam bara kehancuran yang diciptakan oleh segelintir orang. (ARP)















