ENTIKONG, Infoindonesia.net – Di sebuah sudut Kalimantan Barat, tepatnya di tapal batas yang memeluk mesra Indonesia dan Malaysia, di Entikong, Kabupaten Sanggau, seutas harapan mulai menyulam benang-benang takdir.
Sosok tegap dengan senyum semringah itu adalah Wawan Suwandi, Pelaksana Tugas (Plt) Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Provinsi Kalimantan Barat.
Di tengah riuhnya gelombang perubahan, ia menuturkan sebuah kabar yang menggugah, bahwa delapan puluh sanubari jurnalis dari empat belas kabupaten/kota di Kalimantan Barat, tengah bersua dalam gelaran Orientasi Kewartawanan dan Keorganisasian (OKK) PWI.
Seolah mereka adalah laskar-laskar pena, siap mengarungi samudra informasi yang kian bergolak.
Namun, di balik optimisme yang tersirat, Wawan Suwandi tak menampik sebuah realitas pahit yang kini membekap erat denyut nadi industri media di Indonesia.
Ini bukanlah guncangan gempa politik atau tsunami informasi yang meluluhlantakkan, melainkan bisikan efisiensi yang mencekik.
Uang seolah enggan mengalir deras, biaya operasional merangkak naik, dan iklan-iklan yang dulu berderet kini mengering bak daun gugur di musim kemarau.
Pembaca, dengan jemari lincah, mulai memilih mana yang layak diklik, bukan lagi dibeli.
Di persimpangan jalan ini, jurnalisme tak lagi bisa berlayar dalam mimpi indah. Ia harus berjuang, bahkan seringkali dengan menggadaikan harga diri demi sebuah eksistensi.
Jeritan Ekonomi Itu Ketika Idealismemu Tergadaikan
Bayangan gelap tekanan ekonomi seolah menjadi bayangan setia yang mengikuti setiap langkah redaksi.
Pendapatan dari iklan, yang dulu menjadi tulang punggung, kini menipis seiring eksodus pasar ke pelukan platform digital global.
Kisah pilu pemutusan hubungan kerja (PHK) massal bukanlah dongeng belaka, melainkan fakta yang menghujam jantung perusahaan media, baik raksasa maupun yang mungil.
Bahkan, beberapa koran cetak, dengan tinta yang belum sempat mengering, telah pamit tanpa sempat menyapa generasi milenial.
Gaji jurnalis dipangkas, lembur ditiadakan, dan proyek investigasi, yang sejatinya adalah mercusuar kebenaran, dibiarkan mati suri karena ketiadaan anggaran.
Ini bukan lagi sekadar soal idealisme yang menjunjung tinggi kebenaran, melainkan tentang siapa yang mampu berdiri tegak tanpa roboh lebih dulu di tengah badai.
Antara Kesiapan dan Kekeliruan
Arus perubahan teknologi adalah sebuah keniscayaan, memaksa media untuk berlayar dalam samudra transformasi. Sayangnya, tak sedikit yang karam sebelum mencapai dermaga adaptasi.
Platform daring memang menawarkan kemudahan distribusi yang murah meriah, namun ia menuntut harga mahal untuk sebuah konten berkualitas.
Mereka yang terlalu tergesa-gesa menyelami arus digital kerap kehilangan esensi: kedalaman, fakta, dan akurasi. Sementara yang memilih berdiam diri, takluk tergilas zaman.
Media digital, di satu sisi adalah lahan paling kompetitif, namun di sisi lain, ia adalah ladang paling rentan terhadap clickbait, sensasionalisme, bahkan disinformasi yang meracuni.
Jurnalisme, yang seharusnya menjadi pelita penerang kebenaran, terkadang harus rela menjelma menjadi sekadar alat pencari trafik demi angka-angka.
Fondasi yang Retak dan Kian Rapuh
Kebebasan pers adalah pilar utama demokrasi. Namun, kini pilar itu seolah retak, menampakkan kerapuhan yang mengkhawatirkan.
Ancaman kekerasan, intimidasi, hingga kriminalisasi terhadap jurnalis semakin menjamur.
Kisah-kisah pilu tentang jurnalis yang dianiaya saat meliput aksi massa, atau media yang tertekan oleh pihak-pihak yang alergi terhadap pemberitaan kritis, adalah secuil gambaran dari realitas lapangan.
Namun, ancaman terbesar tak selalu datang dari luar. Tekanan ekonomi adalah godaan manis yang membuat media mudah terlena.
Sponsor, investor, atau kelompok bisnis bisa dengan mudah mengukir narasi sesuai kehendak mereka, manakala kondisi finansial redaksi tengah limbung. Di sinilah, independensi mulai goyah, bak perahu yang kehilangan nahkoda di tengah badai.
Kesejahteraan Jurnalis: Korban Idealisme yang Terlupakan
Sebuah penelitian mengungkap fakta miris: kesejahteraan jurnalis di Indonesia masih jauh dari kata layak.
Gaji minim, beban kerja tinggi yang tak mengenal waktu, serta jam istirahat yang tak menentu, adalah potret buram keseharian mereka.
Padahal, mereka adalah garda terdepan dalam menyampaikan informasi publik, menembus batas-batas bahaya demi sebuah kebenaran.
Jurnalis senior, yang sejatinya adalah permata, tak jarang memilih untuk pensiun dini karena tekanan fisik dan mental yang tak lagi tertanggungkan.
Akibatnya, generasi muda yang menjejakkan kaki di profesi ini semakin menyusut, karena tak melihat masa depan yang menjanjikan dalam balutan idealisme semata.
Luka Menganga Oleh Hoaks dan Polarisasi
Masyarakat kini diselimuti skeptisisme yang kian pekat. Kepercayaan terhadap media terus melorot, tergerus oleh badai hoaks, polarisasi opini, dan berita yang tak jarang lebih menyerupai propaganda.
Ketika media dituding sebagai “penyebar kebohongan”, maka jurnalis pun kehilangan legitimasi moralnya, bak lentera yang kehabisan minyak di tengah kegelapan.
Tanpa kepercayaan publik, jurnalisme akan kehilangan audiensnya, seolah panggung yang sepi tanpa penonton. Dan tanpa audiens, bisnis media akan runtuh, bagai bangunan megah yang kehilangan pondasinya.
Kisah di Balik Tirai yang Terkuak
Kualitas Berita yang Meluntur: Investigasi mendalam kini menjadi barang langka. Liputan lebih sering bersumber dari rilis resmi atau siaran pers.
Fakta diverifikasi terburu-buru, sumber tak selalu diwawancarai langsung. Hasilnya? Berita yang monoton, dangkal, dan bias.
Independensi Media dalam Ancaman: Tanpa pendanaan yang sehat, media bisa saja menerima sponsor dengan syarat editorial tertentu. Narasi bisa dibelokkan, kritik dilemahkan, dan isu-isu penting tak diturunkan demi menjaga relasi bisnis yang semu.
Keselamatan Jurnalis yang Kian Meresahkan: Di tengah liputan konflik sosial, politik, atau demonstrasi, jurnalis seringkali menjadi sasaran amuk massa atau represi aparat.
Perlindungan hukum masih rapuh, dan penegakan hukum atas kekerasan terhadap jurnalis masih berjalan teramat lambat.
Merajut Asa Mencari Jalan Keluar di Tengah Badai
Investasi pada Manusia: Bayar Jurnalis dengan Layak! Kesejahteraan jurnalis adalah investasi terbaik untuk kualitas berita.
Tanpa sumber daya manusia yang sejahtera, jurnalisme hanya akan menjadi pekerjaan sambilan, bukan lagi panggilan jiwa yang tulus.
Pertahankan Independensi: Lawan Komersialisasi Berlebihan! Media harus memiliki garis merah yang tak bisa ditawar. Jangan sampai narasi dibentuk oleh uang atau tekanan eksternal.
Transparansi sumber pendanaan bisa menjadi langkah awal untuk merajut kembali kepercayaan publik yang terkoyak.
Bangun Konten Berkualitas, Bukan Sekadar Viral: Konten yang bernuansa humanis, berbasis data yang akurat, dan berimbang adalah senjata ampuh untuk menarik kembali minat pembaca. Tak semua yang viral itu benar, dan tak semua yang benar itu viral.
Adaptasi Digital dengan Strategi Matang: Transformasi digital tak sesederhana membuat situs web atau akun media sosial.
Ia menuntut strategi bisnis yang matang, pengembangan tim digital yang mumpuni, serta inovasi dalam monetisasi konten. Langganan digital, podcast, atau newsletter berbayar, bisa menjadi model alternatif yang menjanjikan.
Media tak harus berjuang sendirian. Kolaborasi lintas media, lembaga swadaya masyarakat (LSM), atau universitas bisa menjadi solusi untuk memproduksi berita berkualitas.
Model bisnis berbasis donasi, crowdfunding, atau keanggotaan juga patut dicoba dan dikembangkan.
Jurnalisme mungkin sedang terhuyung, namun ia belum mati. Di tengah badai ekonomi yang menerjang dan tekanan digital yang tak terbendung.
Masih ada redaksi yang teguh memegang prinsip, masih ada jurnalis yang berani turun ke lapangan demi sebuah kebenaran, dan masih ada pembaca yang percaya bahwa media bisa menjadi penerang di tengah kegelapan.
Yang kini diperlukan bukan hanya solidaritas semata, melainkan juga kesadaran kolektif: bahwa jurnalisme yang sehat dan berdaulat adalah fondasi tak tergantikan bagi sebuah negara yang transparan, adil, dan bermartabat.
Di sela-sela denting semangat OKK PWI Kalimantan Barat, Saeful, salah seorang peserta, dengan mata berbinar mengaku bangga.
“Ini luar biasa. Tidak bisa diucap kata-kata. Pokoknya ini saja mantap lah sudah. Berharap kegiatan ini dilakukan rutin,” tuturnya, seolah mengukir janji pada sang waktu.
Sementara itu, Aat Surya Safaat, Direktur Uji Kompetensi Wartawan (UKW) PWI, menitipkan sebuah wejangan yang menghujam sanubari.
Ia berujar, “Menulis tidak akan sampai ke puncak kejayaan kecuali dengan kerja keras, dan tidak akan sampai ke puncak keagungan kecuali dengan sopan santun.”
Sebuah kalimat yang menampar kesadaran, bahwa kemahiran tak semata-mata soal talenta, melainkan juga ketekunan.
“Tidak mudah memang. Perlu ketekunan dan kerja keras agar kita pandai menulis. Tetapi sejatinya kita pasti bisa,” imbuhnya, membakar semangat para pewarta muda.
Aat Surya Safaat kemudian menutup wejangannya dengan sebuah kalimat yang menggugah jiwa: “Karenanya perlu pula disadari bahwa menulis adalah ibadah dan menuangkan pikiran melalui tulisan adalah juga bernilai sedekah.”
Sebuah pengingat, bahwa setiap goresan pena, setiap kata yang terangkai, adalah sebentuk pengabdian.
Sebuah sumbangan bagi peradaban. Semoga semangat ini terus menyala, menerangi setiap sudut gelap, dan mengukir kebenaran dalam setiap baris kisah. (M Tasya)