SEKADAU – infoindonesia.net – Lelaki itu hanyalah siluet di antara kemuraman air. Di tepian Sungai Sekadau Kalimantan Barat nadi kehidupan yang kini bernyawa lumpur ia duduk, sepasang mata tuanya basah oleh kesedihan yang tak terperi.
Air mata yang menetes, jernih, kontras sekali dengan pekatnya cairan kecokelatan yang mengalir di depannya.
Itu bukan lagi sungai, itu adalah duka cair yang mengangkut ampas hasrat manusia akan emas.
Inilah potret Kalimantan Barat hari ini, tepatnya di Kecamatan Nanga Mahap, Kabupaten Sekadau.
Sebuah tragedi ekologis yang terbungkus rapi dalam ironi. Sungai Sekadau, yang pernah menjadi cermin langit dan sumber penghidupan.
Kini menjadi simbol penyerahan diri total pada eksploitasi yang tidak bermoral sama sekali.
Anak Negeri Merana
Sungai Sekadau telah didera demam tinggi. Air yang dulunya jernih dan ramah kini mendidih dengan suspensi lumpur dan kontaminasi kimia.
Pemicunya tunggal, tak terbantahkan: Pertambangan Emas Tanpa Izin (PETI). Bukan lagi sembunyi sembunyi, aktivitas ilegal ini beroperasi layaknya perusahaan resmi yang tak tersentuh, membentang dari Desa Tembaga, Landau Apin, Batu Pahat, hingga Lembah Beringin.
Warga Nanga Mahap merasakan pahitnya dampak secara langsung. Aliran air yang disedot habis, dicabik-cabik, kemudian dimuntahkan kembali sebagai bubur beracun.
Viralitas di media sosial hanyalah puncak gunung es dari penderitaan yang telah lama mengakar.
Foto dan video yang tersebar luas, menampilkan warna air cokelat pekat yang menggetarkan nurani, seolah menjadi akta kematian bagi ekosistem Sekadau.
Kondisi Air Kritis
Pemeriksaan sederhana yang dilakukan warga setempat menunjukkan angka pH air yang kritis.
Indikator ini adalah alarm merah bahwa air tersebut tidak lagi layak untuk kebutuhan dasar mandi, mencuci, apalagi dikonsumsi.
Kadar keasaman atau kebasaan yang abnormal ini merupakan residu dari proses ekstraksi emas yang tak terhindarkan, sering kali melibatkan zat berbahaya yang meracuni perlahan.
Namun, duka terbesarnya terekam di keramba-keramba nelayan. Mereka, para penjaga tradisi dan mata pencaharian turun-temurun.
Kini menyaksikan pemandangan yang menyayat hati ikan-ikan mati mendadak dalam jumlah massal. Ini adalah korban nyata pertama dari invasi PETI.
“Dulu, kami mandi dan ambil air langsung dari sungai, sekarang airnya seperti lumpur. Ikan di keramba pun mati semua,” ungkap pilu seorang warga Desa Batu Pahat.
Kalimatnya bukan sekadar keluhan, melainkan sebuah plak duka yang dipahat oleh lumpur dan keserakahan.
Ironi Penegakan Hukum
Inilah bagian yang paling menghiris ketumpulan taring hukum. Masyarakat menyaksikan kehancuran yang terjadi di depan mata.
Namun, Aparat Penegak Hukum (APH) seolah mengenakan jubah tembus pandang saat berhadapan dengan fenomena PETI.
Keluhan warga, bukti visual, dan kerugian nyata seolah hanya angin lalu bagi institusi yang seharusnya menjaga ketertiban dan kelestarian lingkungan.
Tuduhan tak sedap pun merebak. Indikasi adanya oknum Kapolsek diduga main mata menjadi narasi dominan yang berkelindan di tengah masyarakat.
Mata dan telinga APH, yang seharusnya tajam dan peka, mendadak tertutup rapat oleh entitas yang tidak terlihat entitas yang disinyalir adalah amplop tebal atau proteksi yang disalahgunakan.
Sudirman, seorang Praktisi Hukum terkemuka di Kalbar, menggarisbawahi kegagalan sistemik ini dengan sindiran yang menusuk. Ia bilang, bahwa kegiatan PETI selalu berlindung di balik APH.
“Sehingga tidak pernah berhenti, meskipun diadakan tindakan, karena adanya oknum APH yang juga bermain. Sedikitnya ada 500 set lebih yang beroperasi,” tegasnya.
Angka 500 set lebih itu bukan sekadar statistik itu adalah 500 mesin penghancur ekosistem yang beroperasi setiap hari.
Memuntahkan racun dan lumpur ke jantung Sekadau, dilindungi oleh selimut impunitas yang meresahkan. Ini adalah bencana yang dilegalkan oleh pembiaran.
Di tengah semua ini, kita disuguhi satir yang tragis Pemerintah Kabupaten Sekadau sibuk dengan narasi pembangunan.
Sementara fondasi lingkungan tempat pembangunan itu berdiri sedang ambruk. Warga berharap Pemerintah Daerah dan aparat segera turun ke lapangan.
Ini seolah-olah penegak hukum yang digaji oleh rakyat perlu diperintah untuk menghentikan kejahatan yang jelas-jelas merusak hajat hidup orang banyak.
Sungai Sekadau kini menjadi monumen bisu atas kegagalan kolektif kegagalan pemerintah dalam mengontrol sumber daya.
Kegagalan hukum dalam menegakkan keadilan lingkungan, dan kegagalan manusia dalam menghargai alam.
Nelayan kehilangan mata pencaharian. Anak-anak kehilangan air bersih. Lingkungan kehilangan nyawa.
Entitas yang seharusnya menjaga, ditengarai justru menjadi penjaga pintu bagi para penambang ilegal.
Kasus besar ini adalah tentang bagaimana emas telah berhasil menutupi mata nurani dan taring hukum di Sekadau, Kalimantan Barat.
Sekadau telah membayar mahal harga kemewahan emas yang bahkan bukan miliknya. Yang tersisa hanyalah lumpur, kematian, dan air mata yang tak terhenti.
Penyelamatan Wajib Segera
Masyarakat lokal kini hanya bisa menggantungkan harapan pada intervensi segera dan penindakan tegas tanpa pandang bulu. Tuntutan mereka sederhana, Selamatkan Sekadau.
Aktivitas PETI harus dihentikan, ekosistem harus direhabilitasi, dan yang paling utama, oknum APH yang diduga menjadi payung harus diusut tuntas.
Kegagalan menindak tegas hari ini adalah investasi bencana di masa depan. Sekadau berhak atas air jernih, bukan lumpur yang dibayar dengan air mata. (ARP)















