
Sanggau, Infoindonesia.net – Angin berembus pelan di tepian Kapuas, membawa serta bisik-bisik yang merayap dari satu telinga ke telinga lain. Di jantung Kabupaten Sanggau, sebuah nama tiba-tiba menjadi buah bibir: Bantuan Operasional Satuan Pendidikan (BOSP).
Bukan sebagai pujian, melainkan sebagai bayang-bayang kelam yang ditudingkan oleh segelintir suara. Narasi itu, bagai percikan api yang jatuh ke tumpukan ilalang kering, seketika memantik api kegaduhan. Sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) menorehkan tinta tudingan, menuding ada anomali dalam pusaran dana yang seharusnya menjadi nadi kehidupan sekolah-sekolah di Bumi Daranante. Namun, sebagaimana setiap kisah yang berawal dari bisik, selalu ada sisi lain yang luput dari pandangan. Di balik riuh rendah tuduhan itu, sebuah bantahan telah disiapkan, bukan sebagai perlawanan, melainkan sebagai upaya untuk mengurai benang kusut yang terlanjur teranyam.
Theofilus Panggilingan, Kepala Bidang Pembinaan Pendidikan SMP Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Sanggau, tampil ke muka. Dengan suara tenang namun tegas, ia mencoba memadamkan api yang berkobar, meluruskan apa yang telah bengkok, dan menerangi apa yang telah digelapkan oleh narasi yang terlampau liar.
Merajut Kembali Fakta
Dana BOSP Bukan Sekadar BukuBagi sebagian orang, Bantuan Operasional Sekolah (BOS)—yang kini berevolusi menjadi BOSP—hanyalah identik dengan tumpukan buku di rak perpustakaan. Narasi yang seringkali bergema adalah tentang kewajiban sekolah untuk mengalokasikan dana tersebut semata-mata untuk pengadaan buku. Sebuah pemahaman yang, menurut Theofilus, adalah kesalahpahaman yang akut. “Tidak semua dana BOSP itu untuk membeli buku,” ujarnya, menekankan setiap kata seolah-olah ia sedang menata kembali kepingan puzzle yang berserakan.
“BOSP itu, esensinya, adalah darah yang mengalir untuk seluruh operasional sekolah. Mulai dari listrik, air, internet, hingga gaji guru honorer. Bahkan, untuk kegiatan ekstrakurikuler siswa. “Dalam tata kelola keuangan yang transparan, alokasi dana BOSP diatur dengan sangat ketat oleh Permendikbudristek Nomor 63 Tahun 2023.
Ada komponen-komponen yang harus dipatuhi, dan pembelian buku hanyalah salah satu dari sekian banyak pos yang bisa diisi. Jika sebuah sekolah sudah memiliki koleksi buku yang memadai, atau prioritasnya lebih mendesak untuk membayar gaji guru honorer yang telah mengabdi, maka alokasi dana bisa diarahkan ke sana. Intervensi yang terlampau kaku justru akan mematikan inovasi dan fleksibilitas sekolah dalam mengelola kebutuhannya sendiri. Inilah yang menjadi landasan utama argumen Dinas Pendidikan Sanggau. Dana BOSP bukanlah rantai yang membelenggu, melainkan sayap yang memberdayakan.
Klarifikasi Kejati
Prahara yang Telah UsaiPada tahun 2024, di tengah hiruk-pikuk tuduhan yang dilontarkan oleh LSM, sebuah babak baru pun dimulai.
Sejumlah perwakilan sekolah, bersama pihak Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Sanggau, dipanggil untuk memberikan klarifikasi di Kejaksaan Tinggi (Kejati) Kalimantan Barat.
Panggilan itu, alih-alih menjadi pertanda buruk, justru menjadi kesempatan untuk membuktikan bahwa tidak ada udang di balik batu.”Semua yang dilaporkan oleh LSM tersebut sudah kami klarifikasi di Kejati Kalbar pada tahun 2024,” terang Theofilus dengan nada penuh keyakinan. Ia melanjutkan, proses klarifikasi itu berjalan secara transparan dan profesional. Pihak Kejati, sebagai garda terdepan penegak hukum, memeriksa setiap dokumen, setiap alur penggunaan dana, dan setiap laporan pertanggungjawaban yang ada.
Hasil dari klarifikasi tersebut, menurut Dinas Pendidikan Sanggau, telah mematahkan semua tuduhan yang dilontarkan. Tidak ditemukan adanya penyimpangan atau indikasi korupsi yang masif.
Pihak-pihak yang dilaporkan telah membuktikan bahwa penggunaan dana BOSP dilakukan sesuai dengan koridor hukum dan kebutuhan sekolah masing-masing. Ini adalah poin krusial yang sering luput dari perhatian publik. Kisah ini bukan tentang sebuah skandal yang terungkap, melainkan tentang sebuah narasi yang dipertanyakan, dan akhirnya, diluruskan oleh fakta-fakta yang terverifikasi.
Menjunjung Otonomi Sekolah
Dinas Bukan PenguasaTuduhan lain yang kerap menyertai narasi miring ini adalah tentang adanya intervensi dari Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Sanggau terhadap sekolah-sekolah dalam penggunaan dana BOSP. Seolah-olah, ada sebuah tangan tak terlihat yang mengendalikan setiap sen yang dikeluarkan oleh kepala sekolah.
Theofilus Panggilingan dengan tegas membantah tudingan tersebut. “Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Sanggau tidak pernah mengarahkan atau mengintervensi sekolah dalam penggunaan dana BOSP,” katanya. Bantahan ini bukan sekadar kalimat kosong, melainkan cerminan dari filosofi otonomi sekolah yang dianut oleh sistem pendidikan saat ini.
Dalam bingkai pendidikan modern, sekolah diberikan kewenangan penuh untuk mengelola anggarannya sendiri, sesuai dengan Rencana Kegiatan dan Anggaran Sekolah (RKAS) yang telah disusun. Dinas Pendidikan berperan sebagai pembina dan fasilitator, bukan sebagai diktator. Tugas Dinas adalah memastikan bahwa sekolah memahami aturan mainnya, memberikan pendampingan jika ada kendala, dan memverifikasi laporan pertanggungjawaban. Mengintervensi justru akan mencederai semangat otonomi dan kreativitas yang seharusnya tumbuh di setiap lembaga pendidikan.
Mengurai Kisah di Balik Angka
Dalam setiap berita, ada dua dunia yang seringkali bersinggungan: dunia angka dan dunia manusia. Dunia angka berbicara tentang data, laporan, dan pertanggungjawaban. Dunia manusia berbicara tentang guru yang bekerja tanpa lelah, siswa yang haus akan ilmu, dan kepala sekolah yang memikul beban berat di pundaknya.
Di balik narasi yang beredar, ada kisah-kisah nyata yang luput dari sorotan. Ada kisah tentang seorang kepala sekolah di pelosok Sanggau yang berjuang untuk memastikan listrik tetap menyala agar siswa bisa belajar di malam hari. Ada kisah tentang guru honorer yang akhirnya bisa tersenyum karena gajinya dibayar tepat waktu berkat fleksibilitas dana BOSP.
Inilah wajah sejati dari dana BOSP: bukan sekadar nominal di atas kertas, melainkan wujud nyata dari komitmen untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.
Kisah ini adalah pengingat bahwa tidak semua yang berdesir adalah kebenaran. Bahwa di balik setiap tuduhan, selalu ada ruang untuk klarifikasi. Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Sanggau, melalui Theofilus Panggilingan, telah berupaya merajut kembali benang kepercayaan yang sempat koyak. Mereka tidak hanya membantah, tetapi juga menjelaskan, dengan data dan fakta yang terverifikasi.
Pada akhirnya, yang terpenting bukanlah siapa yang benar atau salah, melainkan bagaimana kita bisa bersama-sama menjaga agar dana pendidikan, yang merupakan amanah besar dari rakyat, bisa digunakan sebaik-baiknya.
Untuk melahirkan generasi Sanggau yang cerdas, berdaya, dan siap menghadapi tantangan masa depan. Mari kita berhenti berbisik, dan mulai mendengarkan dengan hati yang terbuka. (ARP)